Impact Story – Forum Posyandu Remaja merupakan sekumpulan remaja yang ada di Kabupaten Sukabumi. Mereka memiliki ketertarikan pada isu kesehatan, lingkungan, dan sosial. Mereka juga bukan sekadar anak muda biasa, tapi pelopor masa depan.

Fitri, 20 Tahun, seorang yang berperan sebagai salah satu pelopor Posyandu Remaja Kabupaten Sukabumi. Ia memiliki cita-cita luhur menjadi insinyur lingkungan. Pengalaman berkegiatan di Posyadu Remaja menjadi awal perjalanan panjangnya.

Keterlibatan remaja pada isu lingkungan kerap kali ditemukan hanya pada aktivitas gerakan, seperti membersihkan sampah pada aliran sungai. Kemudian melakukan kampanye agar orang tidak membuang sampah sembarangan, serta mendaki gunung sebagai refleksi/ wisata.

Gambar 1. Fitri dan Teman-temannya sedang menyimak materi tentang konsep pengetahuan tradisional patanjala di lokasi acara 8 November 2024. (Foto Farhan Sabadesa)

Ada yang berbeda setelah Fitri mengikuti kegiatan lokakarya tentang upaya pengendalian perubahan iklim yang diadakan oleh Sabadesa. Pada kegiatan tersebut, ia memiliki pengetahuan baru terkait upaya pengendalian perubahan iklim menggunakan pendekatan konsep pengetahuan tradisional Patanjala.

Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan pentingnya ekosistem sungai dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam sesi pembukaan, para peserta belajar tentang bagaimana sungai bukan hanya sumber air, tetapi juga penopang kehidupan ekosistem, pengatur suhu bumi, dan cerminan kesehatan lingkungan.

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan air melimpah, menghadapi ancaman besar terhadap ekosistem sungainya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa 82 persen dari sungai utama di Indonesia berada dalam kondisi tercemar dengan sebagian besar terklasifikasi sebagai tercemar berat.

Faktor utama yang berkontribusi terhadap degradasi sungai di tingkat nasional di antaranya adalah alih fungsi lahan ditandai oleh aktivitas urbanisasi dan aktivitas industri yang mengurangi fungsi ekologis sungai. Kemudian, pengelolaan limbah yang buruk seperti limbah domestik dan industri yang tidak terolah menjadi sumber pencemaran utama. Selanjutnya kerusakan hutan di hulu mengakibatkan sedimentasi tinggi yang merusak ekosistem air tawar.

“Awalnya, saya hanya tahu perubahan iklim dari berita atau media sosial, tapi saat melihat langsung data eksisting wilayah aliran sungai, kualitas air dan bagaimana sungai terhubung dengan ekosistem lainnya, saya merasa terpanggil untuk berbuat lebih,” kata Fitri penuh semangat.

Gambar 2. Fitri sedang presentasi hasil penilaian kondisi wilayah aliran sungai acara 9 November 2024. (Foto Farhan Sabadesa)

Lalu Fitri beserta temannya mengikuti Workshop Penelusuran Lapangan Penilaian Kondisi Eksisting Wilayah Aliran Sungai yanga diadakan Sabadesa. Selama kegiatan para peserta diajak untuk mempraktikkan pengukuran kedalaman air sungai, muka air sungai, menganalisis kondisi tegakan pohon, dan mengenali keanekaragaman hayati di sekitar sungai.

Tim Program Sabadesa dengan sabar membimbing mereka, menjelaskan proses pengukuran dan penilaian terhadap kawasan perlindungan sungai berdasarkan data dan kondisi lapangan. Antusias dari teman-temannya membuat Fitri menjadi lebih semangat untuk memperdalam pengetahuan tradisional Patanjala dalam pengelolaan tata ruang dan tata wilayah.

Namun yang paling membekas bagi mereka adalah sesi diskusi komunitas dengan warga lokal. Di sini, para peserta mendengar langsung cerita dari para petani dan nelayan tentang bagaimana perubahan iklim telah memengaruhi hasil panen dan tangkapan ikan mereka.

Seorang warga desa, Yunus (59 Tahun), menceritakan dulu air Sungai Cicatih jernih dan penuh ikan. Namun sekarang pada saat kemarau panjang airnya surut dan banyak tanaman penduduk yang gagal panen.

“Saat musim penghujan air sungai meluap sehingga tidak jarang di beberapa wilayah terjadi banjir, bahkan sekarang banjir bisa sampai setinggi atap rumah warga,” katanya, Yunus.

Berbekal pengetahuan tradisional Patanjala, Fitri mulai belajar lebih gigih dalam menentukan kondisi suatu kawasan perlindungan sungai. Dari mulai tata acara pengukuran menggunakan alat dan fasilitas yang lengkap, menggambar peta kawasan perlindungan sungai tak berskala, lalu dituliskan dalam bentuk digitasi peta.

Hal tersebut membuat teman-temannya terinspirasi, mengingat pentingnya memiliki kesadaran terhadap kawasan agar bisa terhindar dari perilaku eksploitatif.

“Banyaknya bencana alam yang menghampiri merupakan suatu pengingat bagi kita untuk kembali memperlakukan alam sesuai dengan fungsinya,” kata Fitri.

Pengalaman ini membuat Generasi Z seperti Fitri dan teman-temannya yang sebelumnya hanya sekadar ingin tahu menjadi benar-benar tergerak. Mereka mulai berpikir apa yang bisa dilakukan untuk membuat perbedaan?

Gambar 3. Fitri bersama pengurus yayasan sabadesa di lokasi acara 10 November 2024. (Foto Farhan Sabadesa)

Setelah kegiatan selesai, beberapa peserta, termasuk Fitri, berinisiatif untuk membentuk komunitas kecil bernama Muda Peduli Sungai.

Mereka merencanakan kampanye edukasi di media sosial, penanaman kembali pohon endemik di wilayah aliran sungai, membersihkan sungai, hingga mengajak teman-teman mereka untuk terlibat.

“Kami ingin menunjukkan bahwa siapa pun bisa mulai dari langkah kecil. Sungai bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang kita semua manusia, tumbuhan, hewan yang bergantung pada ekosistem ini,” ujar Rimas, salah satu anggota.

Dari semangat kecil ini, Fitri dan teman-temannya menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari solusi. Mereka membuktikan bahwa dengan edukasi, pengalaman langsung, dan kemauan untuk berubah, anak muda mampu menciptakan dampak besar bagi masa depan bumi.

Hal ini menjadi bukti nyata bahwa generasi penerus mampu menghidupkan kembali harapan untuk lingkungan yang lebih baik. Sungai mengalir, dan begitu pula semangat mereka, membawa harapan baru ke setiap sudut kehidupan.

Pujia Nuryamin Akbar, Alumni Pascasarjana S2, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI).

Bagikan Berita